4.3.10

Gila + Kaya + Kuasa = Bahaya

ADALAH riil, siapapun lebih baik mengalah atau menghindari, jika berhadapan dengan sosok yang berpendirian - berperilaku - berkarakter tak lazim, Gila. Apalagi orang tersebut kaya (Gila+Kaya). Lebih serius lagi, plus berkuasa. Artinya tiga predikat melekat menjadi satu (Gila+Kaya+Kuasa). Bahkan, berselisih dengan sosok demikian, meminjam istilah agama, apapun, pasti hukumnya wajib. Wajib untuk tidak melawan, wajib untuk tidak meladeni, ketimbang tertular menjadi gila. Sementara kaya dan punya kuasa, belum tentu.


Tak mudah, memang, mengetahui secara jelas perbedaan Gila dan Waras. Batasannya demikian tipis. Bahkan ada kalanya, sosok berpakaian tdk keruan, yang malah sering diketegorikan sebagai sampah masyarakat, ternyata ia masih memiliki keputusan bijak. Ia rela berbagi makanan dengan si Anjing, yang jalannya sempoyongan, kelaparan.

Memang, sering kali logika kita tertipu, hanya berpegang pada yang tampak dari luar, yang hanya terlihat kasat mata. Bukan hanya itu, tak jarang pula, suatu asumsi menjadi tersesat oleh beragam pendapat, oleh perjuangan-perjuangannya, yang notabene demi orang lain. Demi bangsa dan sebagainya. Kenyataannya, di belakang pangsung sang lakon justru berperan melenceng jauh dari ungkapannya, dari gerakannya.

Karakter-karakter seperti itu ada disekitar kita. Ada didesa kita. Ada di kota kota. Ada di provinsi kita, ada di negara kita, dan ada di mana pun. Tak sulit untuk ditemukan. Ada yang berlagu sebagai petani tebu, yang memperjuangkan hak sesama. Prakteknya ber hektar lahan tebu telah berada dalam genggamannya. Petani penggarap pun tak kuasa menolak untuk berdemo, seolah sebagai petani, yang menuntut proteksi atas harga gula.


Ada juga sosok politikus nasional yang setiap berorasi ketika berkampanye demikian menyejukkan. Menggugah emosi rakyat untuk menentang pemerintah. Di banyak kota berhasil meraih suara. Tetapi, justru di desa kelahirannya, ia terjungkal. Tidak ada tetangga yang mencoblos namanya. Ini riil adanya.

Hal itu terjadi lantaran para tetangga, juga warga desa yang telah mengenalnya lebih berbudi. Penilaiannya lebih bersandarkan pada rasa. Meski logikanya memahami putra dari desanya, sosok yang pintar, sosok yang pandai, dan sosok yang membuat desanya terkenal, tetapi mereka tetap menilainya sebagai sosok yang kurang waras. Orasinya di TV, pendapatnya di surat kabar, dirasakan berseberangan dengan kelakuan keseharian, yang tentu, tak layak untuk diladeni. Apalagi didukung, untuk duduk di singgasana.

Memang, ber-logika, dalam kasus sosial, tak selamanya selalu berujung pada hasil sebagaimana kehendak umum. Demikian pula menghadapi bawahan, atasan, rekan bisnis, pengurus kampung, birokrat di tingkat kelurahan, kecamatan, kota, provinsi, dan negara.

Bahkan, lebih rumit lagi ketika hendak memilih suatu pimpinan, apapun, untuk menduduki sebuah takhta, kita mesti mengatahui xyz-nya. Sebab apapun pilihan kita, sang pemilih harus turut bertanggung jawab. Apalagi, yang kita pilih, sosok yang Gila, kemudian Kaya, dan menjadi Penguasa. Bahaya. (priono subardan)