9.6.08

Harga BBM Seolah Tak Masalah Lagi

Setelah FPI dan AKKBB Bergerak dan Diikuti Piala Euro
KENAIKKAN harga BBM tampaknya bukan lagi masalah. Ini terutama setelah FPI dan Aliansi Kebangsaan Untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) bergerak, yang berujung pada insiden Monas. Kondisi ini masih diikuti datangnya musim kompetisi sepakbola Eropa, menarik perhatian dunia, termasuk Indonesia, yang juga larut dalam nonton bareng Piala Euro hingga dini hari.
Demikian kesimpulan atas fokus media secara umum, selama Mei dan pada Minggu pertama Juni 2008.

Insiden Monas sungguh luar biasa daya tariknya bagi mayoritas media, yang kemudian menempatkannya sebagai berita utama. Setelah hari itu, 1 Juni 2008, berita seputar kontra kenaikan harga BBM tak lagi mudah ditemukan. Kalau pun ada, hanya sebuah berita biasa, yang bagi penguasa, tentu tak menarik untuk dicermati, dibanding kepentingan yang lebih besar versi pemerintah, demi terjaganya anggaran, APBN.

Rakyat pun terkesima oleh berita seputar FPI, yang masih menjadi topik pilihan bagi media di hari berikutnya. Emosi rakyatpun tergugah, sebagian marah dan menuntut dibubarkannya FPI. Bahkan, permasalahanpun kian melebar, ketika Ketua FPI Rizieq bersinggungan dengan Gus Dur, tokoh nasional. Tokoh NU juga mantan Presiden RI.

Namun, fokus media tak lebih sepekan mulai bergeser lagi. Topik seputar musim kompetisi sepakbola Eropa, menjadi pilihannya. Namun, ini kali ini media seolah memang tak kuasa menolak piala Eropa untuk menjadi topik pilihan. Sepakbola memang memiliki daya tarik tersendiri. Apalagi sekelas piala Eropa, yang hampir sama nilainya dengan piala Dunia.

Maka adalah wajar, bila kemudian beramai-ramai, sebagian besar media, bicara sepakbola. Bukan hanya media cetak. Tapi, media radio, TV, medianet, bahkan blog (weblog). Mereka khawatir akan ditinggalkan pembacanya. Bahkan TV terus beraktifitas hingga dini hari, termasuk meladeni acara nonton bareng di kampung-kampung, sambil menggelar tikar.

Berbeda dengan kasus 1 Juni 2008. Saat itu media memliki banyak pilihan topik, yang dapat disajikan. Tetap pada benang merah bulan Mei seputar BBM, atau Kelahiran dasar negara Pancasila atau konflik FPI dengan Aliansi Kebangsaan Untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB). Atau topik lainnya, seputar pertanian, misalnya, mengingat krisis pangan mulai mengancam, termasuk bagi negara agraris, seperti Indonesia.

Kenyataannya, kesakralan lahir nya Pancasila dan berita kenaikan harga BBM, meskipun bersentuhan langsung dengan beban sehari-hari, diperhitungkan tidak bernilai jual dibanding berita FPI. Bahkan, media pun menamakan tragedi itu sebagai istilah insiden Monas. Bukan insiden FPI, bukan insiden AKKBB, bukan pula insiden 1 Juni 2008.

Dari sisi bisnis, pemilihan topik ini tidak salah. Keberadaan FPI itu sendiri memang senantiasa menarik perhatian. FPI telah berhasil dibangun untuk memiliki citra sebagaimana diharapkan. FPI sering kontroversial dalam gerakannya dan setiap aksinya tak jarang berujung pada kekerasan. Menarik, apalagi hal ini terjadi di negara hukum dan berlandaskan Pancasila.

Tentu pemilihan topik oleh media, hanya media itu sendiri yang mengetahui kepentingannya. FPI pun dapat dibaca sebagai media. Demikian pula disisi pembaca. Untuk membaca, larut atau membicarakan suatu topik yang disajikan oleh media, adalah bukan kewajiban. Masalah utama, terjaganya stabilitas dan semangat NKRI bukan hanya bergantung media. Masyarakat pun berkemampuan untuk mendikte media. Bukan hanya sebagai obyek. (priono subardan)